Sisi Terang
Sisi Terang

20+ Wanita yang Menolak untuk Mengikuti Standar Kecantikan dan Berhenti Menyemir Uban Mereka

Uban biasanya dikaitkan dengan usia tua, atau untuk berbagai alasan, bahkan dikaitkan dengan kurangnya perawatan seolah-olah uban hanya dimiliki oleh orang yang tidak tahu cara merawat diri sendiri. Namun, setelah proses penerimaan, ada wanita yang memutuskan untuk membagikan kisah-kisah mereka melalui sebuah akun Instagram bernama Grombre. Sebagian besar membahas bahwa apa pun warna rambut mereka, itu tidak menjelaskan siapa mereka. Sebaliknya, ini cuma simbol betapa kaya dan beragamnya dunia perempuan.

Sisi Terang menghimpun sebagian testimoni dari wanita dari berbagai umur, yang dengan bangga menunjukkan keindahan rambut mereka yang diperciki atau tertutup seluruhnya dengan uban.

1.

“Aku melihat uban tumbuh di akhir usia belasan, tapi enggak begitu memikirkannya pada saat itu. Singkat cerita, uban tumbuh di seluruh kepala setelah aku punya dua anak pada awal usia tiga puluhan! Kuakui, dalam upaya untuk enggak tampak tua, aku akan menyemirnya, tapi warna itu enggak bisa bertahan lebih dari satu atau dua minggu. Aku enggak punya kesabaran untuk perawatan semacam itu, maka kuputuskan untuk membiarkan saja alam menentukan jalannya. Aku kadang merasa ragu antara menyemir atau memotongnya saja, tapi aku akhirnya memilih untuk menentangnya. Suamiku enggak membiarkan aku menyemir karena dia belum pernah melihatku tanpa uban, haha. Aku juga menerima banyak pujian tentang warna itu. Perlahan-lahan, aku belajar untuk menerima bahwa enggak seharusnya aku tampak seperti diriku 20 tahun lalu karena aku juga bukan lagi orang yang sama seperti 20 tahun lalu. Ubanku adalah bagian dari siapa diriku, semua suka dan dukaku selama 47 tahun terakhir.”

2.

“Sekitar 3 tahun lalu, aku mengalami masalah, antara lain lengan dan kakiku sangat lemah, nyeri, dan ada gangguan keseimbangan. Ternyata, aku telah mengalami keracunan logam berat. Kebanyakan orang dengan level logam yang sama enggak mengalami masalah apa pun, tapi tubuhku merespons dengan buruk. Aku disuruh melakukan detoks penuh dan disarankan agar berhenti memakai semir rambut. Aku bahkan belum berpikir tentang tumbuhnya uban karena sudah cukup lama menyemir rambut.

Aku benar-benar ingin melakukan apa pun yang bisa kucoba agar lebih sehat. Jadi, aku berhenti menyemir rambut. Aku sangat tertekan. Aku hampir enggak bisa menggunakan lenganku, aku enggak mampu memainkan bas kesayanganku, dan rambutku setengah abu-abu setengah cokelat dengan highlight. Benar-benar bukan waktu yang menyenangkan dalam hidupku. Tiga tahun kemudian, aku benar-benar bahagia dengan ubanku. Aku mendapatkan lebih banyak pujian daripada saat aku mewarnai rambutku. Enggak menyemir rambut juga membuatku merasa lega. Umurku hampir 57 tahun dan aku adalah diriku yang asli. Aku telah berdamai dengan semuanya. Ini perjalanan yang cukup berat, tapi aku suka ubanku dan enggak akan kembali ke masa lalu.”

3.

“10 tahun lalu, suamiku berubah dari seorang pengacara berumur 62 tahun yang aktif bermain sofbol dan trompet orkestra Prancis menjadi seorang pria lumpuh total dalam 24 jam. Dia menghabiskan 8,5 bulan di rumah sakit untuk memulihkan pernapasan, suara, dan kemampuannya makan makanan padat. Lalu, kami memasuki tahun di mana merawatnya di rumah menggunakan Hoyer lift dan menyuapinya adalah kegiatan sehari-hari kami. Aku berumur 56 ketika akhirnya benar-benar memperhatikan diriku. Kulihat rambut cokelat kastanyaku dengan sedikit uban telah berubah total menjadi putih terang. Aku pergi ke penata rambut dan dengan senang hati diyakinkan untuk menerimanya! Aku melakukannya.

Aku mencintai rambut putihku yang berkilau dan mendapatkan banyak pujian hingga pertanyaan tentang bagaimana rambutku bisa begitu indah. Aku biasanya cuma tersenyum dan bilang, ’Kurasa keberuntungan.’ Aku BENAR-BENAR harus belajar cara menyesuaikan diri dengan sistem nilai yang sangat berbeda dalam jenis pakaianku, tapi menemukan kombinasi warna baru adalah tantangan yang menarik.”

4.

“Sekarang ini, aku berusia 24 tahun. Aku menemukan uban pertamaku saat berusia 11 tahun, tapi baru-baru ini ibuku bilang kalau BELIAU telah menemukan uban pertamaku ketika aku berusia 8 tahun! Aku telah membiarkan ubanku sejak Februari 2020. Aku sudah ditakdirkan untuk berambut putih. Jadi, buat apa melawannya?

Aku telah menyemir rambutku tiap bulan (entah itu kulakukan sendiri atau di salon) sejak usiaku sekitar 17 tahun. Namun, aku makin serius menyingkirkan semir rambut ketika kulihat betapa sehat rambut ibuku saat beliau memutuskan untuk menerima rambut putih salju alaminya beberapa tahun lalu. Ketika bulan Maret tiba, aku makin merasa bahwa waktunya sangat tepat. Setelah beberapa bulan aku memutihkan ujung-ujung rambut bagian depan yang masih bersemir (dengan buruk, haha), aku sangat bersemangat menunggu rambut putihku untuk memenuhinya.”

5.

"Bulan Desember 2016, aku berusia 42 tahun dengan anak berumur 11 bulan dan meratapi lingkaran uban ’enggak sopan’ yang harus kuwarnai dengan inai atau indigo. Dua kolega yang lebih muda di tempat kerjaku yang selalu menyatakan cinta mereka terhadap rambut putih bilang kepadaku, ’Kenapa kamu enggak berhenti menyemirnya dan membiarkannya saja?’ Nah, beberapa bulan kemudian, sekitar Mei 2017, aku masih belum memperoleh inai/indigo itu. Uban itu bukan lagi berbentuk seperti lingkaran, tapi menjadi kayak ikat kepala yang tebal.

Aku sedang berlibur di tempat mertua dan berada di kamar mandi dalam sesi maraton mencuci rambutku. Aku sudah malas melakukannya selama berminggu-minggu dan sedang mengalami rontok rambut parah yang enggak bisa kumengerti. Setelah mengurusnya, kulihat botol semir di atas meja. Aku berencana melupakan inai dan akan menyemir cepat dengan Jazzing. Kulihat botol itu dan terpikir keluarga serta bayiku yang berumur 1 1/2 tahun di lantai atas, aku telah kehilangan waktu 2-3 jam dengan mereka. Aku memikirkan 1-2 jam tambahan yang akan kubutuhkan untuk memakai semir, menunggu, keramas, pakai kondisioner dan menata rambutku. Aku lelah. Saat itu, aku enggak tertarik lagi. Perjalanan ubanku, yang muncul pada bulan Desember tanpa seizinku, akhirnya resmi dimulai.

Ini bukan perjalanan yang lancar, ada banyak hambatan di jalan dalam satu setengah tahun pertama. Ada rasa ragu, enggak aman, dan komentar negatif. Namun, aku mulai mengikuti Grombre dan lainnya sehingga aku selalu melihat foto-foto inspirasi untuk membantuku bertahan di jalur ini. Aku ingat dengan kolega yang lebih tua yang datang ke belakangku dan berbisik, ’Semir aja!’ Namun, aku bilang, ’Perjalanan ini sulit, kuakui itu. Akan tetapi, aku telah melihat destinasinya dan aku merasa ini pantas dilakukan.’ Aku begitu bahagia telah mengambil keputusan ini karena aku mencintai ubanku dan merasa nyaman dengan diriku apa adanya. Kedua kolegaku benar, pada usia 48, aku telah merasa cukup sebelum menginjak 50 tahun!"

6.

“Rasa percaya diriku sepertinya memudar begitu pasanganku, seorang fotografer profesional, ingin memfotoku. Aku tahu, jika dia memotret, enggak akan ada tampilan cepat foto, enggak ada koreksi, enggak ada pratinjau, dan enggak ada kesempatan kedua.

Inilah aku yang sedang berusaha menghentikannya dari memotretku. Aku enggak memakai make-up, rambutku acak-acakan, dan aku merasa lelah. Begitu dia meraih kamera dan mengarahkannya kepadaku, aku merasa rentan dan enggak terlindungi. Namun, dia membuatku tertawa, dia selalu membuatku tertawa...dan memotret. Menariknya, ini enggak terjadi kepadaku saat dia memakai kamera digital. Aku enggak terlalu merasa canggung. Kurasa karena aku tahu kalau bisa selalu menghapus foto itu jika aku enggak kelihatan ’cukup keren’ dan aku cenderung menjadi kritikus diriku yang terburuk. Ketika aku melihat foto ini sekarang, aku ingat momen yang kami lalui bersama di taman. Aku ingat dia bilang kepadaku betapa cantiknya aku dan aku menolak untuk difoto karena pada hari itu, untuk alasan tertentu, aku enggak memercayainya.”

7.

“Ibuku menemukan uban pertamaku ketika usiaku 12 tahun (aku bahkan enggak tahu bagaimana itu terjadi!) Ibu selalu mengingatkan bahwa mungkin aku akan ubanan lebih awal daripada kebanyakan orang, tapi aku enggak pernah membayangkan akan terjadi di usia semuda ini. Ketika aku tumbuh lebih besar, bercak abu-abu di atas kepalaku makin sulit ditutupi. Penata rambutku yang baik hati meyakinkanku untuk menerimanya dan berhenti menutupi ubanku di usia 24 tahun.

Aku telah membiarkannya selama 2 tahun dan membuat low light beberapa kali setahun untuk membantunya lebih menyatu karena rambutku belum seluruhnya beruban. Aku belajar untuk makin menerimanya tiap hari. Enggak ada yang percaya bahwa aku ubanan seperti ini di usia 26 tahun! Aku seorang guru dan muridku yang kecil-kecil itu sering bingung—’Ibu ’kan belum punya anak, tapi kok uban Ibu banyak banget!’ Aku cuma menyalahkan mereka karena membuatku stres! Namun, aku sebaiknya harus menyalahkan atau justru berterima kasih kepada ibuku!”

8.

“Aku berhenti menyemir rambutku pada bulan Februari 2019 dan aku telah menunggu dengan sabar sampai rambutku tumbuh cukup panjang untuk benar-benar kelihatan di foto. Aku selalu menghubungkan uban dengan hal-hal negatif—jadi tua, jadi kusut, menyerah. Aku menyemir ubanku selama bertahun-tahun, mencoba melawan waktu dengan tampil ’lebih muda’ dan ’lebih cantik’ dengan rambut yang lebih gelap. Pemikiran bahwa aku bisa mencintai diri sendiri, ubanku, dan semuanya, atau bahwa aku menerima diriku sendiri dan seksualitasku sebagai wanita berumur 51 tahun yang beruban sepertinya tak dapat dijangkau.

Banyak orang yang dekat denganku, termasuk suamiku dan sebagian temanku yang tersayang, memuji pewarnaan yang terus-menerus. Mereka setuju kalau aku tampak ’lebih cantik’ dengan rambut gelap sehingga aku harus menunggu sampai jauh lebih tua untuk menyingkirkan semir rambut. Hampir saja aku mengikuti jalan mereka. Sampai, salah seorang teman dengan serius mengarahkan aku ke akun Instagram ini. Aku langsung mendapatkan dukungan dan dorongan melalui semua unggahan dari para wanita seumuranku, yang lebih tua dari aku, dan mereka yang jauh lebih muda, yang telah memutuskan untuk melepaskan kebutuhan atau keinginan untuk menutupi atau mengubah tampilan mereka yang menua.

Aku sekarang merasa nyaman dan berdaya karena enggak butuh lagi tampil dengan cara tertentu dan menerima perubahanku sebagai cerminan dari kebijaksanaanku yang tumbuh. Aku suka helaian ubanku. Aku tahu bahwa aku bisa mencintai dan menyayangi mereka semua yang di sekitarku cuma kalau aku sudah mencintai dan menyayangi diriku sendiri.”

9.

“Memasuki 24 pekan perjalanan ubanku. Apa kamu bisa melihat kelelahan di mataku? Dulu sekali, aku sadar bahwa mataku mengungkapkan hampir segala hal. Kesadaran semacam itu di usia yang masih muda menjadikan aku orang yang sangat jujur. Bukan karena aku menjunjung tinggi nilai-nilai moral, tapi cuma karena aku enggak begitu pandai berbohong. Seiring waktu, kejujuran itu menjadi kebiasaan dan nyaman (syukurlah) dan aku sadar bahwa ini sebenarnya cara hidup yang sangat sederhana.

Namun, pemikiran tentang ketidakjujuran SANGAT enggak nyaman. Kapan pun orang memuji rambutku yang hitam legam, aku akan tergagap dan menjelaskan tentang rambutku yang telah disemir dan bukan benar-benar rambut asli, dsb. Aku BENAR-BENAR menanti momen untuk bisa bilang ’makasih’ ketika seseorang bilang dia suka warna ubanku. Alangkah senangnya bisa bebas dari beban yang kupikul ini.”

10.

"Halo, aku Jaqueline Bergrós, 30 tahun, aktris musikal dari Jerman. Aku memiliki uban untuk pertama kalinya pada usia 18 tahun. Saat itu, aku enggak berpikir banyak tentang hal ini. Pada umur 21, aku mulai menyemir rambutku secara teratur. Pada umur 25, aku harus menyemirnya tiap 3 minggu sekali.

Aku selalu diberi tahu bahwa aku terlalu muda untuk beruban. Aku terus-menerus ditanya apa aku ada kekurangan atau cacat genetika. Apa pun itu, jelas bagi semua orang dan juga bagiku bahwa aku harus menyembunyikannya. Enggak seorang pun seharusnya melihat aku beruban ’terlalu dini’, terutama di tempat kerjaku. Aku bekerja di panggung dan harus tampil seperti peserta audisi. Siapa yang mau nonton Jasmine beruban dalam film Aladdin? Aku siap menanggung makin banyak reaksi alergi, rambut patah dan rontok, dan menganggapnya ’normal’ saja. Makin kusemir ubanku, makin cepat uban itu tampak lagi. Hari ini, aku tahu: ubanku ingin dilihat.

Tanggal 5 Maret 2020, aku menyemir rambut untuk terakhir kalinya dan memutuskan kesehatanku lebih penting bagiku daripada memiliki rambut cokelat. Aku enggak ingin bersembunyi dan mengunci diri dalam sangkar lagi. Aku dulu takut menampilkan diriku sendiri, terutama terhadap reaksi negatif.

Sejak aku membiarkan ubanku tumbuh, aku telah menerima banyak sekali pujian dan kekaguman yang luar biasa. Aku bersinar dengan sinar baru sebab aku adalah diriku sendiri, sebagaimana adanya. Sebagian orang bahkan bertanya kepadaku apa rambutku adalah hasil semiran. Banyak orang enggak bisa menerima begitu saja gambaran seorang wanita muda yang beruban. Ini adalah perjalanan dan terkadang terasa enggak mudah. Aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan dan aku enggak menyesali satu hari pun. Aku enggak sabar menunggu untuk membuang bagian terakhir rambutku yang disemir dan hidup dengan uban sampai ke ujung-ujungnya.

11.

“Hai, semua! Namaku Alex dan aku telah bebas semir sejak Juni 2017. Aku memutuskan untuk berhenti menyemir sebab dengan kecepatan tumbuh ubanku, aku harus ke salon tiap minggu. Aku sangat enggak suka perawatan sehingga ini adalah keputusan yang mudah. Aku gembira mengikuti perjalanan ini karena pengin melihat aku akan jadi apa dan gimana penampilanku saat beruban. Ini telah menjadi petualangan luar biasa sejauh ini. Menerima ubanku membuatku merasa kuat dan bebas. Aku telah belajar untuk menerima dan mencintai ketidaksempurnaanku. Motoku adalah ketidaksempurnaan merupakan kesempurnaan. Jangan sungkan bertanya tentang ubanku, bekas luka keloid, dan artritis di usia muda. Kita adalah diri kita apa adanya karena hal-hal yang terpaksa harus kita atasi dan tahu siapa diri kita sebenarnya adalah hadiah tak ternilai bagi diri kita sendiri. Terima kasih telah membaca dan aku berharap untuk terhubung dengan kamu semua di dunia maya dan dunia yang nyata!”

12.

“Aku sedang memberontak karena sedang membiarkan rambutku dengan warna alaminya! Aku bosan pergi menyemirkan rambutku tiap 3 minggu dan aku lebih suka memakai uangnya untuk hal-hal lain. Aku enggak yakin apa aku menyukai cara ini. Melihat uban membuatku berpikir ’aku sudah tua, padahal aku belum mencapai yang ingin kucapai, waktu sangat cepat berlalu, dan apa lagi yang akan terjadi.’ Aku benar-benar enggak yakin apa ITU, tapi sudahlah KARENA aku sangat menyukai keputusanku. Ini melegakan!!

Aku memiliki lebih banyak waktu luang karena enggak melakukan perawatan rambut dan aku telah menghemat uang. Aku bisa mengkurasi koleksi pakaian yang ’aku’ banget, yang pasti mencakup sesuatu yang tumbuh di New York dan dipengaruhi oleh era 1970-an. Yang enggak kalah penting, semua pemikiran itu enggak benar. Oke, menua itu jelas terjadi dan sepertinya waktu memang berlalu sangat cepat. Namun, menurutku, menerima uban berarti kamu menerima dirimu sendiri. Artinya... Aku telah menyadari pencapaianku. Aku melingkupi diriku dengan kegembiraan sesungguhnya dan berharap bisa membawa hal-hal yang berarti/berharga bagi orang lain.”

13.

“Dengan gaya rambut gimbal di umur 40, aku siap-siap untuk pindah dari AS untuk sebuah peluang kerja. Namun, seorang taman memperlihatkan kepadaku bahwa aku punya ’sedikit uban’ yang butuh disemir dan menawarkan akan membayar biaya semir sebagai hadiah perpisahan. Jadi, aku menerimanya untuk bersenang-senang aja. Begitu tiba di negara baru, aku mulai bekerja sebagai penyanyi dan merasa harus terus menyemir. Ini menjadi beban mengerikan karena rambutku menjadi kering dan rapuh.

Aku juga menghadapi situasi yang enggak pernah terbayangkan akan menjadi masalah: memikat orang yang salah dan enggak dihormati karena aku tampak lebih muda. Aku bangga dengan umurku dan enggak masalah menerimanya. Dengan nasihat ahli kecantikan, aku memotong gimbalku yang rusak, berhenti menyemir rambutku, dan aku enggak pernah berubah lagi. Aneh rasanya tinggal di negara di mana para wanita benar-benar enggak senang dengan uban dan kebanyakan mereka menyemir rambut, tapi aku enggak benar-benar memperhatikan ubanku. Kurasa ini karena aku telah melihat dan menikmati kecantikan alamiku. Ini melegakan dan membuatku bahagia.”

14.

“Setelah mendapatkan ubanku yang pertama di umur 16, setahun lalu aku memutuskan untuk tampil alami setelah menyemir rambutku selama bertahun-tahun. Di umur 35, aku mengalami masalah kesehatan mental. Berambut alami adalah bagian dari proses penyembuhanku untuk benar-benar menerima dan mencintai diriku apa adanya. Umurku 39 sekarang, aku sangat bangga dengan diriku sendiri dan aku bisa bilang bahwa aku baik-baik saja.”

15.

“Aku mulai punya uban di usia 30-an. Selama 20 tahun, aku rajin dan wajib menutupinya. Sering berkunjung ke penata rambut? Iya! Maskara atau semprotan untuk menutup akar uban? Iya! Merasa sedih saat akar uban mulai muncul? Iya!

Aku enggak suka menyemir rambut di rumah. Jadi, kubiarkan uban tampak lebih luas, dengan memastikan untuk membatasinya dengan semprotan warna gelap. Suatu hari, setelah keramas, aku terketuk. Ubanku tampak cemerlang di mataku. Aku bilang kepada diri sendiri ’Hei, tunggu sebentar, rambutmu berwarna perak, lho!’ Aku suka itu, aku suka tampilan baruku, dan aku enggak berubah pikiran sejak saat itu.”

16.

“Keluargaku diundang ke sebuah pernikahan pada tahun 2012—saat itu aku sudah menikah, memiliki dua anak, dan berumur 40. Aku enggak mungkin tampil dengan garis uban, jadi aku menyemir rambutku di salon. Untungnya, aku pergi menyemir 2 pekan sebelum pernikahan itu karena ternyata tubuhku bereaksi alergi terhadap residu semir ketika aku mencuci rambut untuk pertama kalinya. Dibutuhkan waktu seminggu sampai segala sesuatunya teratasi. Sejak saat itu, aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada semir rambut dan aku enggak akan berubah!”

17.

“Aku memulai perjalanan perakku beberapa tahun lalu. Aku dan suamiku ngobrol santai tentang wanita dengan rambut beruban... Dia bilang, dia enggak suka itu. Tentu saja. Itu adalah hari aku berkomitmen untuk membiarkan ubanku tumbuh. Haha! Aku mulai beruban ketika berumur 16! Jadi, ini saatnya berhenti menimbun semua bahan kimia di kepalaku. Rambutku belum pernah sesehat ini! Suamiku tersadar dan sekarang dia MENYUKAINYA! Aku berharap melakukan ini lebih awal. Aku enggak menyesal!”

18.

“Menerima uban adalah masalah keangkuhan, tapi rasanya lebih dari itu. Aku selalu berusaha tampil cantik, berpakaian rapi, tetap bugar dan aku juga suka make-up serta mode. Semua ini berkontribusi terhadap kesejahteraanku. Jika aku tampak keren, aku merasa baik. Itu saling terkait. Karena itulah, perjalanan ini terasa berat. Dibutuhkan beberapa minggu untuk bisa melihat diri sendiri di cermin dan menyukai apa yang kulihat. Aku sangat merasa takut dan khawatir tentang bagaimana pandangan orang terhadapku. Apa aku akan menghilang ke dalam jurang ’wanita tua yang tak dilihat’? Apa akhirnya akan seperti yang kuharapkan—rambut dengan ikal putih yang sangat indah?
Aku tahu aku harus ’memukau dengan tampilan beruban’, tapi aku enggak yakin. Sekarang aku memasuki pekan ke-12 dan DI SINILAH AKU. Aku menerima ubanku dan berlanjut menerima diri sendiri. Aku tahu ini akan menjadi perjalanan panjang, tapi ini perjalananku. Sampai jumpa di lain waktu!”

19.

“Aku merasa seperti pernah membaca ’aturan rambut beruban’ untuk jangan memakai pakaian abu-abu... karena ini akan membuatmu terlihat pucat atau semacamnya? Kalau begitu, inilah pelanggaran terhadap semua aturan itu karena aku suka penampilanku yang serba abu-abu (rambut dan pakaian!) Dan warna lain apa pun yang ingin kupakai!”

20.

“Aku terlalu muda untuk beruban, aku terlalu malu, aku akan tampak terlalu tua, dan aku terlalu khawatir dengan pendapat orang lain. Inilah keraguan dan rasa takut yang membuatku terus menyemir rambutku tiap 3 pekan sekali. Padahal, sebenarnya aku suka melihat wanita dengan rambut abu-abu yang alami, mereka menginspirasiku, dan aku mengimpikan keberanian untuk melangkah ke sana.

Selama 3 tahun aku melakukan tawar menawar dengan diri sendiri, menimbang tiap segi positif dan negatif yang akan muncul karena membiarkan akar rambutku bebas, sampai aku merasa lelah berpikir dan memutuskan untuk bertindak. Aku ingin semua wanita merasa nyaman dengan keadaan mereka sendiri. Rambut enggak menentukan siapa kita. Perak, abu-abu, putih, kelabu, semuanya warna yang indah dan aku belajar untuk menghargai rambut alamiku.”

21.

“Nenekku punya ’garis sigung’ yang indah di usia paruh bayanya, ibuku menunjukkan tanda-tanda garisnya sendiri di usia itu, dan aku enggak mau ketinggalan. Namun, sepertinya itu semua masih sangat jauh. Jadi, untuk sementara, aku bersenang-senang dengan semir satu atau dua kali setahun. Itu semua berubah ketika aku menderita infeksi bakteri serius ketika sedang bepergian. Aku enggak mudah pulih.

Stres itu disusul dengan folikel rambutku. Sebagian besar rambutku rontok, sepercik uban berubah menjadi abu-abu pekat hanya dalam semalam, dan aku mendapati diriku melakukan hal yang enggak pernah kuimpikan: membeli obat di apotek untuk menutupi akar rambutku yang putih.

Suatu hari, aku merasa bosan. Kulihat bayangan diriku di cermin dan sadar enggak ada ruginya. Proses pertumbuhan uban yang menyakitkan dimulai. Aku hampir kehilangan keberanian beberapa kali selama tahun berikutnya. Yang terburuk adalah ditandai dalam foto. Aku bisa membayangkan teman-teman lama akan terkesiap ’Apa kamu MELIHAT foto Laurel yang itu? Kenapa dia membiarkan dirinya begitu!’ Namun, suatu hari, satu kali potong rambut menghilangkan warna palsu itu. Aku mulai sehat lagi dan rambut yang telah hilang tumbuh lagi. Akhirnya, sebagian rambut putihku karena stres memberi tempat kepada rambut cokelat lagi, sampai suatu ketika aku melihat ke cermin dan sadar mimpiku telah menjadi kenyataan: aku telah memiliki garis seperti nenekku.”

22.

“Putriku menginspirasi aku untuk berhenti menyemir rambut karena dia membiarkan ubannya tumbuh. Sebenarnya, aku belum pernah melihat ubanku dan harus kuakui, aku gugup akan seperti apa tampilanku. Aku SUKA warna alamiku! Kalau saja aku tahu akan sekeren ini tampilannya, aku enggak akan pernah menyemirnya! Aku suka dukungan yang diberikan putriku untuk beruban.”

23.

“Aku lelah...lelah merasa malu dan takut! Aku telah mencoba dan gagal beberapa kali ketika membiarkan ubanku. Semua ucapan orang terasa memberatkan keputusanku untuk enggak menyelesaikan proses tumbuhnya uban itu. Aku mendengar, ’kamu baru 37 tahun’, bukan 50!’ atau ’Kamu terlalu muda untuk mulai tampil tua.’ Kenapa uban harus menentukan umur kita? Enggak, kok! Situasi sekarang telah membantu memotivasiku untuk tetap lanjut, untuk tetap membiarkan ubanku tumbuh! Melihat semua wanita cantik berambut putih dari segala umur ini membuatku tetap termotivasi. Ini adalah pertarungan dengan diriku sendiri, tapi situasinya jadi makin mudah. Enggak sabar lagi untuk melihat hasil akhirnya.”

24.

“Aku mulai beruban di usia 13 tahun. Aku selalu menyemir rambutku sepanjang usia 20-an dan 30-an. Di usia 39, dengan dorongan dari ibuku, aku membiarkan ubanku dan sekarang aku SUKA mahkota garam dan ladaku! Dengan ibuku, yang enggak punya Instagram.”

25.

“Darah Yunani dari pihak ibuku telah menakdirkan aku beruban di usia dini. Aku memiliki segaris rambut putih di antara rambut cokelat di atas kepalaku ketika duduk di bangku SMA. Konyolnya, aku selalu menyemir rambutku selama 3 dekade. Akhirnya, di usia 50-an, aku potong rambut cepak dan mengalami fase Itik si Buruk Rupa selama setahun. Aku telah bersenang-senang dengan uban ketika memasuki umur 60-an dan enggak akan kembali menyemirnya. Sekarang, aku telah jadi Angsa.”

Kalau kamu, bagaimana caramu menghadapi uban? Apa menurutmu ini adalah masalah atau justru kesempatan untuk menerima dirimu apa adanya?

Sisi Terang/Khusus cewek/20+ Wanita yang Menolak untuk Mengikuti Standar Kecantikan dan Berhenti Menyemir Uban Mereka
Bagikan Artikel Ini