10 Tanda Seseorang Selalu Playing Victim
Seseorang yang sering playing victim atau sok jadi korban biasanya mengekspresikan banyak hal negatif dan menganggap semua masalah mereka disebabkan oleh orang lain, kecuali diri mereka sendiri. Mereka yakin tindakan mereka sendiri tak ada kaitannya dengan memecahkan masalah mereka, sehingga mereka terbiasa merasa tak berdaya. Kita bisa menghadapi orang-orang seperti ini setiap hari dalam hidup kita, bahkan merasa kasihan dan ingin membantu mereka, tapi tanpa disadari, mereka dapat memanipulasi kita dalam prosesnya.
Sisi Terang selalu bersemangat memberi tahu para pembaca kami tentang berbagai aspek psikologis dalam perilaku sosial manusia. Hari ini, kami mengundangmu untuk membaca tips berguna seputar cara melihat orang-orang yang sering sok menjadi korban dan mencegah mereka memengaruhimu.
1. Mereka mengasihani diri mereka sendiri.
Dunia itu kejam dan mereka terlalu lemah untuk mengubah apa pun yang ada di dalamnya. Inilah yang dipikirkan para “korban” tentang diri mereka sendiri dan menyalahkan semuanya ke seluruh dunia. Padahal kenyataannya, dunia luar memang tidak ramah, tapi untuk mengatasinya, para “korban” terus-menerus mengasihani diri mereka sendiri dan mencoba membuat orang lain merasakan hal yang sama. Makin banyak orang yang bereaksi terhadap pendapatnya, makin banyak korban yang terjebak dalam peran ini.
2. Mereka memanipulasi.
Mereka suka berpura-pura tidak berdaya demi mendapatkan rasa iba dan simpati, serta dukungan darimu. Dengan begini, korban mampu memainkan perasaanmu dan memanipulasimu. Mereka juga bisa membuatmu merasa bersalah atas apa pun yang pernah kamu lakukan kepada mereka. Pada akhirnya, mereka melakukannya hanya untuk mendapatkan perhatian lebih dan membuat orang mendengarkan omongan mereka.
3. Mereka ibarat vampir emosi.
Mereka yang sering playing victim bisa bergantung berlebihan kepadamu saat mencoba memaksa membuatmu membantu mereka mengatasi masalah mereka. Mereka menciptakan citra orang yang banyak mau, ogah bertanggung jawab atas apa pun, dan pada akhirnya, hanya bergantung pada orang-orang di sekitar. Setelah bersama cukup lama, kamu akan merasa kesabaran, energi, dan emosimu diisap langsung dari dalam dirimu.
4. Hidup mereka sendiri tertahan.
Karena para “korban” ini biasanya mendalami ketidakberdayaannya, mereka tidak melakukan upaya apa pun untuk memajukan hidup mereka serta menjadi lebih baik dalam melakukan sesuatu. Pada dasarnya, mereka terjebak dalam satu periode hidup. Dan untuk memperburuk keadaan, mereka akan selalu punya 1.000 alasan lain atas pertanyaan kenapa ini terjadi pada mereka dan salah satu upayamu untuk membantu mereka akan dimatikan sejak awal.
5. Mereka membuat penghalang.
Mereka tak suka mendengarkan apa pun yang kamu ucapkan tentang perilaku atau sikap mereka dan tidak suka menghadapi kenyataan bahwa mereka sumber masalahnya. Jika ini terjadi, mereka akan memilih untuk membuang seseorang dan menghentikan komunikasi apa pun dengannya. Emosi yang berlebihan dan keirasionalan ini menciptakan banyak kekacauan dalam hubungan mereka dengan orang lain dan sayangnya, mereka jarang sekali melihat bahwa kesalahannya ada pada diri mereka sendiri.
6. Mereka sulit memercayai orang.
Ini adalah hasil dari masalah psikologis yang mendalam pada seseorang yang sok menjadi korban—mereka kurang percaya diri dan tidak yakin pada diri mereka sendiri. Mereka melimpahkan emosi mereka ke seluruh dunia dan berpikir orang lain sama seperti mereka: tidak dapat dipercaya. Selain itu, tak seorang pun bisa yakin 100% mampu mengubah pola pikir mereka.
7. Mereka tak bisa berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Karena kurangnya rasa percaya diri, mereka tidak bisa berhenti memikirkan siapa yang lebih baik, diri mereka atau orang lain. Biasanya, mereka akan membandingkan diri mereka dengan orang lain dengan cara yang negatif, lalu justru depresi dibuatnya. Kritik diri ini berbahaya bagi para “korban” dan orang-orang di sekitar mereka karena para “korban” ini akan mencoba berpegang teguh pada pendirian mereka demi mendapatkan belas kasihan. Padahal kenyataannya, tak seorang pun dari kita sempurna serta kita semua pasti punya kekurangan, dan itu adalah hal yang normal.
8. Mereka tidak puas akan hidup mereka.
Mau sebanyak apa pun hal positif yang terjadi dalam hidup mereka, para “korban” ini takkan menggubrisnya dan semuanya takkan pernah cukup. Tak peduli apa yang kurang atau hilang, mereka masih terus menginginkan yang lebih bagi diri mereka sendiri. Pada dasarnya, mereka akan terus-menerus mengeluh tanpa ada habisnya. Orang-orang seperti ini biasanya tidak optimis dan tidak menghargai hidup serta momen-momen cerahnya.
9. Mereka dengan mudah memulai pertengkaran.
Orang lain yang punya pendapat berbeda, kritik, atau tidak setuju dengan para “korban” sangat mungkin diambil hati. Orang-orang semacam ini akan mengubah cekcok apa pun menjadi penghinaan dan pada akhirnya menyerang. Mereka merasa orang-orang di sekitar mereka ingin melukai mental mereka, sehingga mereka harus selalu siap untuk melawan.
10. Mereka enggan mengambil tanggung jawab.
Semua adalah masalah orang lain. Para “korban” selalu menjadikan orang lain kambing hitam atas kegagalan dan masalah mereka. Mereka tidak yakin akan apa pun dan takut mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka dan lebih suka melimpahkan semuanya kepada orang lain. Dengan begitu, mereka melarikan diri dari perasaan dan pikiran mereka, meninggalkan beban yang ada kepada orang lain.
Pernahkah kamu bertemu seseorang dengan mentalitas “korban”? Bagaimana caramu menghadapinya? Bagikanlah ceritamu di kolom komentar!