Setelah 2 Bulan di Jalanan, Penjelajah Inggris Ini Memutuskan untuk Tidak Lagi Memberi kepada Tunawisma
Ed Stafford adalah mantan kapten tentara Inggris, seorang petualang dan penjelajah. Untuk proyek film dokumenter TV-nya yang baru, 60 Days on the Streets, di Channel 4, ditinggalkannya putra, istri, dan rumah mereka yang nyaman selama 2 bulan agar bisa menjalani kehidupan sebagai tunawisma selama periode waktu itu. Dia harus hidup tanpa makanan, uang, dan tempat bernaung di tengah musim dingin. Dengan melakukan ini, dia ingin mencari tahu kenapa orang-orang berakhir hidup di jalanan dan bagaimana mereka berhasil melaluinya.
Menurut kami di Sisi Terang, eksperimen Stafford ini benar-benar menarik dan kami ingin menceritakannya kepada para pembaca dalam artikel ini.
Masalah tunawisma bukan melulu milik negara berkembang. Menurut penelitian tahun 2018, 320.000 orang di Inggris Raya tidak punya rumah, atau kurang lebih satu dari tiap 200 orang. Lebih dari setengah jumlah ini tinggal di London dan banyak di antaranya adalah mantan militer.
Ed Stafford, yang sekarang berumur 45 tahun, memutuskan untuk mencari tahu kenapa orang-orang ini berakhir di jalanan. Untuk melakukan ini, dia hidup di jalanan London, Manchester, dan Glasgow selama 60 hari.
Pengalaman ekstrem baru
Ed telah melakukan banyak hal dalam hidupnya, dia berjalan menyusuri Sungai Amazon (kurang lebih sejauh 6.437 km) dan namanya tercatat dalam Buku Rekor Dunia Guinness di tahun 2012 sebagai pria pertama yang pernah melakukan perjalanan semacam itu. Ketika membuat sebuah film untuk Discovery Channel, Ed harus tinggal di Pulau Orolua (sebuah pulau tak berpenghuni di Kepulauan Fiji) tanpa makanan, air, pakaian, atau peralatan selama 60 hari. Kadang keberaniannya membuatnya kecewa dan dia bisa menangis karena masalah terkecil. Tapi kehidupan sebagai tunawismalah yang paling menegangkan dan menakutkan baginya.
Berat badannya justru naik hampir 5 kg.
Kehidupan sebagai tunawisma lebih menguntungkan daripada yang diperkirakan Ed. Dalam semalam saja, dia bisa menghasilkan antara £100-200 (sekitar 2-4 juta rupiah), ini lebih banyak dibanding rata-rata penduduk London yang memiliki pekerjaan tetap.
Juga tidak ada kekurangan makanan: para sukarelawan memberikan burger gratis dan makanan cepat saji lain kepada para tunawisma, dan jumlah makanan jauh lebih banyak daripada yang dibutuhkan.
Misalnya di Glasgow, Ed menghitung ada 26 sukarelawan yang memberikan makanan, sementara hanya ada 2 laki-laki tunawisma. Salah satu gelandangan itu bahkan mengeluh dia kebanyakan makan.
Terlepas dari kekhawatiran awal bahwa dia akan kelaparan dan kehilangan berat badan, Ed justru mengalami kenaikan berat badan hampir 5 kg selama proyek 60 hari itu. Pemeriksaan kemudian menunjukkan bahwa dia akan menderita masalah jantung kalau melanjutkan pola makan seperti ini.
Tapi Ed mengambil risiko dan mencoba makan dari bak sampah. Suatu kali, dia menemukan salad yang masih sangat bagus di sana. Sayang, dia tidak bisa menikmati makan siangnya dengan baik sebab dia juga menemukan sepotong permen karet bekas di dalam makanan itu.
Terkadang, Ed juga harus membersihkan badan dengan air kloset. Berada dalam bilik toilet adalah satu-satunya cara untuk bisa melepas seluruh pakaian dan membersihkan tubuhnya yang gatal-gatal.
Sebagian dari mereka mendapat uang £100 (sekitar Rp2 juta) lalu pulang untuk mandi air hangat.
Ed mengira tidak akan ada orang waras yang memutuskan untuk bermalam dalam cuaca dingin membeku, tapi kenyataannya, banyak tunawisma lebih menyukai jalanan dibanding tempat penampungan. Salah satu pengemis bisa memperoleh £20 (sekitar Rp400-an) dalam 20 menit dengan bilang kalau dia butuh uang untuk membayar tempat tinggalnya, tapi kemudian dia akan berbalik dan menghabiskan seluruh uang itu untuk membeli narkoba.
Dan yang mengejutkan baginya, Ed bukan satu-satunya pengemis palsu. Sebagian di antara mereka punya rumah sendiri, tapi tetap bekerja di jalanan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Mereka mengemis sebagai penghidupan, tapi kemudian menghabiskan seluruh uangnya untuk membeli narkoba dan alkohol. Salah satu pengemis palsu, Darren, bilang bahwa dia bisa memperoleh uang sampai £600 (sekitar Rp11 juta) per malam dengan meminta uang kepada para pengunjung pub yang mabuk. Tapi biasanya dia pulang setelah makan malam dan mandi air hangat setelah memperoleh £100 (sekitar Rp2 juta).
Pengemis palsu lain menerima sebuah apartemen dari pemerintah setelah dilepaskan dari penjara. Pada awalnya, dia akan memperoleh pekerjaan yang baik. Tapi calon majikannya menawarkan sekitar Rp150-an per jam, yang menurutnya tidak bisa diterima. Maka, dia memilih cara mencari uang yang lebih mudah sebagai mata pencaharian.
Menurut Ed, bahkan tunawisma yang sebenarnya lebih membutuhkan dukungan psikologis daripada uang itu sendiri, untuk bisa beradaptasi secara sosial. Dia juga bilang bahwa meskipun faktanya dia menemukan teman-teman yang baik di jalanan London, dia tidak akan pernah memberi kepada pengemis yang sebenarnya maupun pengemis palsu.
Bagaimana mereka berakhir di jalanan?
Ed dan teman barunya Dina di “kamar rias”-nya, begitu dia menyebut tempat naungannya.
Meskipun hidup di jalanan susah, di akhir eksperimennya, Ed mulai menikmati kebebasannya dalam hidup baru ini, yang tanpa jadwal dan pembatasan. Tapi dia menggarisbawahi bahwa bahkan mereka yang telah menerima kehidupan tunawisma, tidak benar-benar ingin tetap menggelandang selamanya.
Sebagian dari mereka kabur dari orang tua pencandu narkoba, atau meloloskan diri dari kekerasan dalam keluarga. Di Manchester, Ed bertemu Dina, seorang ibu 6 anak. Dia mengaku bahwa dulu dia adalah seorang model, yang melakukan kampanye untuk Debenhams dan M&S. Hidupnya salah arah saat dia berumur 13. Orang tuanya bercerai dan dia tinggal bersama ibunya yang kecanduan narkoba. Saat Dina berumur 15, dia jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi ayah dari anak-anaknya. Sekarang ini, anak-anaknya tinggal bersama ayah mereka, sementara dia harus tinggal di tempat bernaung sementara yang terbuat dari tenda dan kereta belanja. Meskipun Dina pencandu narkoba, dia sangat merindukan anak-anaknya.
Dina senang mengundang Ed ke gubuknya dan bahkan berbagi kukis dengan Ed.
Dina menjemur kaus kakinya di dinding kantor polisi.
Selama eksperimen itu, Ed menemukan banyak serangan dan kecanduan narkoba, dia menyaksikan pertengkaran antara 2 pengemis untuk memperebutkan tempat yang lebih baik, dan dia juga diancam oleh polisi akan ditahan karena mengemis. Suatu ketika, kantong tidurnya bahkan basah karena seseorang buang air kecil di atasnya dan ini bahkan bukan skenario terburuk, karena kantong tidur beberapa tunawisma lain bahkan dibakar.
Beberapa waktu kemudian, Ed kembali ke lokasi gubuk Dina, dan gubuk itu telah lenyap, bersama pemiliknya.
Apa kita perlu memberikan bantuan kepada para tunawisma? Menurut pendapatmu, siapa yang harusnya mengurus mereka? Mungkin kamu pernah menyaksikan kisah menarik sendiri? Bagikan komentarmu di bawah, ya.