Sisi Terang
Sisi Terang

10 Film yang Ditunggu-tunggu tapi Malah Dikacaukan oleh Penciptanya

Banyak hal seputar film sangat bergantung pada promosi iklannya. Dan promosi inilah alasan mengapa kita terkadang bisa terkecoh oleh trailer yang menarik sehingga akhirnya merasa sangat kecewa dan tertipu selepas menonton “mahakarya” gagal lainnya. Selain itu, penonton bahkan merasa lebih kecewa lagi saat pembuat film gagal mengeksekusi ide yang cemerlang dan menjanjikan ke dalam layar lebar.

Sisi Terang telah menelusuri sejumlah pemutaran film perdana beberapa tahun belakangan dan memilih beberapa yang tidak sesuai dengan harapan para kritikus maupun penonton.

Dark Phoenix seharusnya menjadi bagian akhir yang kuat dari seluruh waralaba X-Men.

Harapan: Puncak waralaba X-Men—kasus terakhir mereka. Film ini mengisahkan tentang seorang gadis bernama Jean Grey yang ternyata memiliki kekuatan kosmik sehingga menjadikannya salah satu mutan paling kuat—Dark Phoenix. Namun, semuanya tidak sesederhana itu. Karena harus bertarung dengan iblis yang berada di dalam dirinya, Jean lepas kendali dan menyebabkan perpecahan dalam keluarga X-Men, serta keinginannya untuk menghancurkan planet ini.

Faktanya: Film yang kurang pas untuk disebut sebagai bagian akhir dari waralaba yang nyaris berumur 20 tahun. Dialognya yang kasar, plot yang lemah, dan motivasi karakter yang selalu berubah—semua alasan ini nyaris tidak memberi penonton kesempatan untuk jatuh cinta kepada film tersebut.

Sang sutradara, Simon Kinberg, harus melakukan syuting ulang di akhir film karena adegannya terlalu mirip dengan film Captain Marvel yang dirilis lebih awal. Namun, keputusan ini pun tidak bisa menghindarkan Dark Phoenix dari mendapatkan rating terendah dari para kritikus film atas keseluruhan film X-Men yang pernah ada.

The Hustle mulanya diharapkan menjadi komedi cerdas tentang para penipu terbaik di bidangnya.

Harapan: Sebuah remake komedi populer dari masa lalu (1988) berjudul Dirty Rotten Scoundrels. Film ini awalnya diharapkan punya plot yang diperbarui dengan guyonan yang lebih modern dan tajam, dan, tentu saja, para karakter utama wanita yang baru dan cemerlang.

Faktanya: Ide utama film ini menekankan bahwa wanita adalah penipu ulung melebihi pria, karena tidak ada pria yang mau percaya kalau ada wanita yang lebih pintar dari dirinya. Pernyataan ini (walaupun tidak terlalu mencolok) akan berjalan dengan sempurna jika para tokoh utama dalam film ini lebih menggunakan kecerdasan alih-alih tubuh mereka dalam melakukan pekerjaan mereka. Remake film ini nyaris meniru 100% versi aslinya, kecuali di bagian lelucon jorok dan vulgar yang membuat penonton antara ingin menangis atau tertawa karena malu.

Nutcracker and the Four Realms seharusnya menjadi dongeng Natal yang mengingatkan penonton pada masa kecil mereka.

Harapan: Sebuah film fantasi keluarga berdasarkan dongeng terkenal The Nutcracker and the Mouse beserta para pahlawan pemberani, alur cerita yang mendebarkan, dan alunan musik klasik yang tiada henti. Dua sutradara yang digandrungi oleh semua orang bekerja sama demi membuat film ini: Lasse Hallström, yang pernah mengangkat kisah tentang anjing paling setia, Hachikō, ke layar lebar, dan Joe Johnston, sosok yang menghadirkan dunia Jumanji kepada para pecinta film.

Faktanya: Dengan gambar yang indah ditambah plot yang kurang mendalam, kreator film tersebut berusaha keras untuk berbicara dengan penonton mengenai topik serius, tetapi sayangnya film ini menjadi tidak lebih dari sekadar dialog yang terasa seperti keluar dari mesin. Pahlawan utamanya adalah gadis yang berjiwa bebas yang paham berbagai hal teknis melebihi yang lainnya dan siap menjelaskan hukum fisika kepada semua orang di sekitarnya. Dia juga cukup berani dalam memimpin tentara di medan perang serta punya kemampuan bertarung lebih baik dibanding yang lainnya. Sedangkan, Nutcracker adalah karakter nominal yang patuh melakukan apa pun yang diminta darinya. Kritikus film, Jeff Mitchell, menyamakan film ini dengan sebuah bingkisan hadiah berisi 3 pasang kaus kaki putih yang dikemas dengan indah. Apa kamu mau kado Natal yang seperti ini?

Penonton ingin melihat kelanjutan dari kesuksesan film Unbreakable dan Split di film Glass.

Harapan: Bagian akhir dari trilogi yang diciptakan oleh M. Night Shyamalan pada tahun 2000, dengan judul Unbreakable. Setelah kurang lebih 20 tahun, sang sutradara menggabungkan para karakter dengan bantuan Bruce Willis, Samuel L. Jackson, dan James McAvoy demi menyatukan cerita mereka. Sang sutradara menempatkan para karakter di rumah sakit jiwa yang stafnya berusaha untuk meyakinkan para karakter tersebut bahwasanya mereka adalah orang-orang normal dan biasa-biasa saja. Namun, ternyata tidak semudah itu untuk mewujudkannya.

Faktanya: Kisah luar biasa seputar pahlawan super yang dikaburkan, masa lalu mereka tidak jelas, dan menyaksikan film mereka sebelumnya tidak dihargai. Film tersebut tenggelam dalam liku-liku dan plotnya cenderung berubah-ubah yang membuat para karakter utamanya terabaikan dan terlupakan. Kritikus Karen Han berhasil menguraikan bahwa “setiap kejutan di film Glass berakhir hanya dengan secuil informasi.” Plotnya terkesan dipaksakan untuk menjelaskan semua yang sudah dipahami penonton sejak lama. Semua hal ini secara drastis memperlambat cerita dan tumpang tindih dengan kejutan kecil yang seharusnya bisa saja muncul.

Robin Hood seharusnya menjadi titik awal serial film petualangan yang seru.

Harapan: Versi yang diperbarui dari tokoh legenda Inggris kuno seputar perampok pemberani dan kesatria Robin Hood. Film klasik dengan beragam unsur dunia modern sekaligus film aksi yang ceria, dinamis, lucu, penuh gaya, dan berkualitas tinggi.

Faktanya: Kisah tentang seseorang yang ingin menjadi pahlawan yang disuguhkan dengan format yang ingin dihindari oleh sebagian besar industri perfilman karena penonton sudah muak dengan konsep semacam itu. Lagi pula, film Robin Hood versi 2010 sudah mencakup bagian kehidupan Robin Hood ini, yang sebenarnya sudah dilakukan dengan cukup baik. Gaya filmnya bisa dianggap sebagai sebuah kelebihan, tetapi kelebihan ini perlahan memudar saat mencapai akhir film. Alhasil, semua aksinya terlihat sia-sia dan mengecewakan.

Film Pet Sematary seharusnya mengulang kesuksesan buku tersebut.

Harapan: Versi layar dari salah satu buku Stephen King paling populer dengan kesuraman, ketegangan, dan suasana horor misterius yang melekat. Bagi yang belum membaca versi novelnya, mereka pasti ingin menonton cerita tentang sebuah keluarga yang pindah ke rumah baru yang terletak di dekat pemakaman hewan peliharaan. Ketika kucing keluarga ini mati, sang ayah mengubur hewan itu di luar batas pemakaman tersebut, setelah mendengar saran seseorang. Tidak lama kemudian, kucing itu kembali ke rumah dalam keadaan hidup, tetapi tidak seperti dulu.

Faktanya: Trailer film tersebut memperlihatkan segalanya kepada kita, kecuali bagian akhir cerita. Pertanyaan pun muncul setelah melihat bagian akhirnya, “Kenapa juga harus menonton film ini?” Secara umum, film ini terlihat seperti film horor biasa yang dikemas dengan adegan kejutan yang lemah, klise, dan beragam atribut lain dari film kelas-B. Naskahnya sama persis dengan versi bukunya sehingga nyaris tidak menyisakan ruang agar plotnya terlihat bermakna dan berbeda.

A Wrinkle in Time seharusnya bisa berada di level yang sama dengan Alice in Wonderland dan The Chronicles of Narnia.

Harapan: Sebuah kisah menakjubkan tentang seorang ahli astrofisika yang berhasil membuat penemuan ilmiah yang luar biasa—ia menemukan cara untuk melakukan teleportasi ruang dan waktu. Sayangnya, selama percobaan, seorang pria menghilang, meninggalkan istri dan kedua anaknya sendirian. Sejak saat itu, sang putri dan putranya tersebut bermimpi untuk mencari ayah mereka sekaligus membawanya pulang. Mereka bertemu 3 orang asing misterius, yang akhirnya menjadi teman dalam menempuh perjalanan berbahaya melalui dunia nan jauh di mata.

Faktanya: Versi layar dari buku anak-anak populer berjudul A Wrinkle in Time karya Madeleine L’Engle akhirnya menjadi film dengan biaya sangat mahal yang menyisakan lubang besar dalam plotnya. Para karakter dalam film tersebut terus mengulangi pesan moral yang biasa kita dengar seperti, “kebahagiaan adalah pusat alam semesta,” lalu “luka adalah tempat cahaya memasuki tubuhmu,” atau “jadilah seorang pejuang,” dll. Alhasil, film itu tampak terlalu kekanak-kanakan, naif, dan ketinggalan zaman.

Serenity awalnya diharapkan menjadi film thriller berkualitas tinggi yang bisa direkomendasikan kepada kawan-kawanmu.

Harapan: Sebuah film thriller penuh gaya yang dibintangi oleh para aktor papan atas. Kehidupan tenang seorang kapten kapal penangkap ikan akhirnya runtuh ketika mantan istrinya menemuinya dan meminta dengan putus asa untuk menyelamatkannya dari suami barunya yang kejam. Kembalinya sang mantan istri ke dalam hidupnya membawa pria itu kembali ke kehidupan yang ia coba lupakan. Saat terjebak di antara benar dan salah, dunianya tenggelam ke dalam realitas baru yang bisa saja berbeda dari apa yang terlihat.

Faktanya: Alur cerita yang bagus dan mengejutkan, tapi dibungkus dengan sesuatu yang berlapis-lapis dan sia-sia. Saat menonton film ini, kamu pasti bisa menduga bahwa sang sutradara sekaligus penulis naskah, Steven Knight, mendapatkan ide tentang plot twist-nya terlebih dahulu baru kemudian menambahkan beragam aksi dari karakter di sekitarnya. Alih-alih mencurahkan lebih banyak waktu terhadap kekhawatiran dan masalah para karakter, penonton malah disuguhkan percakapan seputar memancing, persiapan memancing, dan kegiatan memancing itu sendiri.

The Addams Family seharusnya mengukuhkan posisinya di antara film animasi kultus lainnya.

Harapan: Kembalinya keluarga utama Halloween—para karakter paling muram dan sarkastik akhirnya muncul lagi di layar lebar. Komedi animasi pertama tentang keluarga Addams seharusnya menjadi tambahan yang tidak biasa, lucu, dan ironis terhadap budaya populer sekaligus parodi sarkastik terhadap sitkom keluarga.

Faktanya: Meskipun punya rating yang cukup tinggi berdasarkan usia (PG13), bagian intelektual dari kartun tersebut tidak melebihi level siswa prasekolah dan sekolah dasar. Tidak ada yang tersisa dari suasana horor sebelumnya yang seharusnya bisa dipadukan dengan genre komedi. Kritikus film Cath Clarke menuturkan bahwa kartun yang seharusnya membahas tentang melawan tekanan sosial, serta pentingnya menjadi unik, malah punya alur cerita yang sama saja dengan lusinan film keluarga yang pernah ditonton semua orang. Film animasi ini telah kehilangan ciri khasnya.

The Goldfinch sempat diprediksi menjadi film terbaik tahun ini.

Harapan: Versi layar lebar dari buku terlaris dengan judul serupa yang membuat penulisnya Donna Tartt memenangkan Penghargaan Pulitzer 2014 untuk kategori Fiksi. Film ini sebenarnya punya peluang untuk sukses dan mengundang ekspektasi box office yang tinggi. Film ini mulanya juga diyakini akan membawa pulang setidaknya beberapa piala “Oscar.”

Faktanya: Naskahnya tidak mampu memuat isi novel setebal 800 halaman. Para pembuat film tidak berhasil mengungkap para karakter dalam waktu 2,5 jam sehingga penonton tidak paham motif yang melatarbelakangi mereka. Irama narasinya terkesan lamban, yang membuatnya sangat berbeda secara drastis dari sumber aslinya.

Donna Tartt sebenarnya ingin terlibat langsung dalam penulisan naskah, tetapi sayangnya dia harus melewatkan kesempatan tersebut, menurut kontrak. Kritikus Kevin Maher mengungkapkan bahwa film The Goldfinch merupakan film yang “ingin kamu ambil dan peluk, lalu kamu belai kepalanya yang bingung sambil berkata: ’Sudah, enggak apa-apa, kamu sudah berusaha semampumu.’”

Film apa saja dari beberapa tahun belakangan ini yang tidak sesuai dengan harapanmu? Silakan utarakan pendapatmu di kolom komentar, ya!

Kredit foto pratinjau The Hustle / Metro-Goldwyn-Mayer
Bagikan Artikel Ini