Sisi Terang
Sisi Terang

12 Momen ketika Kita Bisa Melihat Desainer Kostum Sengaja Berulah di Film

Sering kali, film-film sejarah menunjukkan kepada kita pakaian yang tidak ada kaitannya dengan masa yang seharusnya digambarkan. Namun, ini bukan karena kelalaian seniman. Dalam kebanyakan kasus, kreator justru melakukannya dengan sengaja agar film lebih ekspresif. Selain sesuai dengan zamannya, pakaian harus menonjolkan kelebihan aktor, cocok dengan konsep film secara keseluruhan, dan bisa dipahami oleh penonton modern. Jika kru berhasil memenuhi itu semua, film itu pasti akan berhasil.

Kami di Sisi Terang tersihir oleh contoh-contoh cemerlang tentang bagaimana kemauan bebas para desainer kostum telah membantu para pembuat film menciptakan mahakarya dan menaklukkan hati beberapa generasi penonton.

Elizabeth I: The Golden Age

Para kreator film melakukan sejumlah ketidakakuratan sejarah. Elizabeth I adalah penggemar berat renda mahal, batu mulia, dan bordir yang rumit. Namun, desainer kostum dengan sengaja meminimalisir jumlah hiasan agar tidak mengalihkan perhatian penonton dari alur cerita. Warna dan tekstur pakaianlah yang membantu untuk menggambarkan karakter ratu dalam hubungannya dengan karakter lain. Hasilnya, penguasa itu muncul di layar dengan pakaian yang kaya warna, alih-alih pakaian berwarna terang dan lebih pudar yang biasa dia pakai dalam kehidupan nyata.

Selain itu, kostum ratu kehilangan sesuatu yang disebut farthingale—rangka lebar yang dipakai di bawah gaun untuk memberi bentuk gelas terbalik dan yang merupakan bagian menyatu bagi pakaian wanita ningrat mana pun masa itu. Siluet Cate Blanchett dalam film itu ramping dan lembut, tanpa bahu mengembang yang merupakan ciri khas dari masa itu. Namun, penafsiran bebas terhadap kostum sejarah tidak mencegah para desainer untuk menciptakan tampilan meyakinkan dan menyabet sebuah piala Oscar untuk Desain Kostum Terbaik.

The Great Gatsby

Kostum pria yang ditunjukkan dalam film ini cukup autentik, sedangkan kostum wanita yang dibuat oleh Miuccia Prada mengalami perubahan signifikan. Alih-alih gaun lurus tanpa garis pinggang yang jelas, yang khas dari zaman itu, penonton melihat pakaian ketat, kerung leher bentuk V dan punggung yang tertutup dalam film.

Aksi kebebasan lain yang dilakukan oleh desainer kostum adalah aksesori: stoking unik dan stileto dengan tumit terbuka. Sekali lagi, film tidak dirugikan karenanya—sebaliknya, pakaian para karakter ini justru memberi pesona khusus untuk film itu.

The Other Boleyn Girl

Seperti halnya pembuat gaun Elizabeth: The Golden Age, desainer dari film ini harus menahan diri dari memakai farthingale. Sebagai gantinya, mereka memakai crinoline untuk menciptakan volume dan pakaian berbentuk serupa kubah yang merupakan ciri khas dari gaun yang muncul pada abad yang lebih baru.

Fitur baru lain yang dibuat oleh desainer kostum film tersebut adalah warna hijau yang cukup tidak biasa di masa Tudor. Sebelum abad ke-19, pembuat kain memakai dua macam pewarna untuk memperoleh warna hijau—biru dan kuning, yang menjadikan kualitas pewarnaan sangat rendah. Itu sebabnya, Anna hampir tidak punya kesempatan untuk menunjukkan pakaiannya dalam warna-warna zamrud yang kaya dalam kehidupan nyata. Namun, justru inilah yang menjadi warna utama film tersebut.

Mary Queen of Scots

Cerita dalam film ini terjadi pada abad ke-16, tapi sebagian besar kostumnya dibuat dari bahan denim, yang sebetulnya belum muncul sampai abad ke-19. Menurut desainer kostum, Alexandra Byrne, para karakter tampak lebih menarik dan lebih bisa dipahami oleh penonton dengan pakaian yang terbuat dari kain jin kasar ini. Bahan yang tidak khas bagi era itu memberi nuansa pengacau tersendiri terhadap periode Elizabeth dan drama sejarah itu mulai bermain dengan warna yang segar.

Shakespeare in Love

Meskipun alur cerita film ini seluruhnya fiksi, ceritanya masih berkisar tokoh sejarah di masa sebenarnya—zaman Elizabeth. Agar tidak menghambat gerakan dan mengalihkan perhatian penonton dari karakter utama, desainer kostum menyederhanakan pakaian yang asli dan meminimalkan hiasan melimpah yang populer di masa itu.

Tampilan kostum pria juga diubah. Studio film takut kalau para karakter akan tampak konyol dengan pakaian ketat, maka mereka membuat jaket dan celananya agak lebih panjang. Akhirnya, penonton melihat sebuah kisah cinta indah yang tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sebenarnya. Namun, sepertinya semua orang puas.

Little Women

Ini adalah cerita tentang empat bersaudari March. Ceritanya terjadi di masa kekuasaan Ratu Victoria, ketika celana panjang, rok dalam, simpai, dan korset merupakan atribut wajib bagi pakaian wanita mana pun. Namun, untuk mengungkapkan kepribadian masing-masing karakter dengan lebih baik, desainer kostum meniadakan sebagian unsur itu dari pakaian Jo dan Beth. Jo memakai rompi laki-laki, bukan korset, sedang Beth tidak mengenakan crinoline.

Cleopatra

Gaun-gaun pas, kamisol, sepatu bertumit tinggi, payet melimpah, bahan-bahan sintetis, dan gaya rambut “sarang tawon”... Begitu panjang daftar detail yang tidak berhubungan dengan masa yang digambarkan dalam film.

Meskipun kedengarannya mengejutkan, tampilan glamor dan semua detail chic tahun ’60-an tidak merusak film itu. Sebaliknya, berkat kerja kolosal dari para desainer kostum, penonton melihat film monumental di mana Cleopatra sendiri memakai 38 pakaian yang berbeda (awalnya, direncanakan dia akan memakai 65!).

Vanity Fair

Cerita dalam film ini terjadi di Inggris pada abad ke-19, di mana warna-warna pastel sedang trendi, sedangkan warna-warna terang hanya digunakan untuk membuat aksen. Namun, para desainer kostum membalikkan tren mode. Sepanjang film, kita melihat karakter utama memakai berbagai pakaian terang yang hampir berkesan nakal. Makin tinggi status sosial seorang wanita, makin beragam pakaiannya. Karena itu, berkat pendekatan para desainer kostum yang tidak lazim, pakaian berubah dari bentuk sederhana menjadi alat yang menggambarkan kepribadian dan ambisi karakter yang berkembang.

Dangerous Beauty

Karakter utama ditunjukkan sebagai bidadari yang lembut dan rapuh. Efek ini didapat dengan bantuan warna-warna pastel, kain yang ringan dan lengan longgar.

Namun, para wanita, termasuk wanita tuna susila, sebenarnya memakai korset logam di atas pakaian dalam mereka di Venesia pada abad ke-16—masa di mana cerita dalam film ini terjadi. Hal ini membuat mereka tampak lebih besar dan tidak ada hal seperti keanggunan yang bisa diterapkan kepada mereka.

Basque, yang juga hampir selalu ada pada semua pakaian karakter utama, belum tren pada saat itu. Akan tetapi, kita harus mengakui bahwa keinginan pembuat film untuk memodernisasi film itu tidak merusaknya. Sebaliknya, hal itu justru membuatnya terasa lebih halus dan romantis, yang mustahil dicapai jika kostumnya benar-benar sesuai dengan pakaian dari masa itu.

Anna Karenina

Cerita dari novel Anna Karenina terjadi pada tahun 1870-an. Oleh karena itu, kostum dari zaman itu, seperti gaun-gaun bustle berhias trim yang kaya dalam bentuk banyak lipatan, jumbai, renda tepi, hiasan tambahan, dan kerutan dimaksudkan untuk ditunjukkan dalam film ini.

Akan tetapi, terlepas dari sejarah, pembuat film mengambil koleksi adibusana dari tahun ’50-an sebagai dasar dan menjadikan siluet (bentuk tubuh) sebagai prioritas. Hasilnya, alih-alih gaun dengan hiasan melimpah, penonton melihat gaun-gaun dengan crinoline yang tidak dibebani detail tak perlu.

Selain itu, para wanita tidak menggunakan sarung tangan di pesta dansa, padahal berdansa tanpa sarung tangan dianggap sebagai tanda buruknya sopan santun. Mereka cuma diizinkan melepasnya ketika makan, bermain musik, dan bermain kartu.

Dirty Dancing

Karakter Jennifer Grey memukau semua orang dengan celana jinnya yang berpinggang tinggi. Namun, para desainer tidak mempertimbangkan fakta bahwa pakaian trendi sehari-hari pada tahun ’60-an (periode waktu ketika cerita film terjadi) tidak terbuat dari bahan denim. Pada saat itu, denim dipakai untuk pekerjaan berat, bukan untuk pakaian santai.

Pride & Prejudice

Kostum yang dipakai karakter Keira Knightley dalam film nyaris sempurna dalam artian sesuai dengan sejarah. Namun, tidak demikian dengan sepatunya. Kita bisa melihat di banyak adegan di mana Elizabeth memakai sepatu bot karet Wellington yang belum ditemukan sampai 40 tahun setelah cerita dalam novel Jane Austen itu terjadi.

Apakah kamu juga memperhatikan kostum ketika sedang menonton film? Apa menurutmu tidak masalah untuk mengorbankan keautentikan film demi ekspresi seni di dalamnya?

Bagikan Artikel Ini